MASALAH SEPAK BOLA KITA TIDAK HANYA SOAL FEDERASI

Sepak bola Indonesia bisa kembali menghirup udara bebas, setelah terbelenggu dalam berbagai masalah dalam satu tahun terakhir ini. Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia telah terbebas dari pembekuan, setelah Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi mencabutnya pada 10 Mei 2016 lalu.

Dicabutnya SK pembekuan Menpora kepada PSSI, pun berimbas kepada dicabutnya sanksi FIFA kepada sepak bola Indonesia. Dalam kongres di Mexico, pada 12-13 Mei lalu, FIFA dibawah komando presiden barunya, Gianni Infantino, menepati janji untuk mencabut suspensi terhadap sepak bola Indonesia apabila pembekuan oleh Pemerintah Indonesia kepada PSSI dicabut.

Dicabutnya pembekuan PSSI oleh Menpora dan sanksi oleh FIFA, seolah menjadi harapan baru bagi sepak bola Tanah Air. Sepak bola Indonesia seolah terlahir kembali dalam peradaban sepak bola modern saat ini. Baik PSSI dan Kemenpora, saling mendengungkan semangat perubahan pada olahraga yang digandrungi di seluruh jagat raya ini. Sejumlah event internasional pun telah menanti kiprah Garuda Merah Putih dalam beberapa bulan ke depan.

Namun, belum juga memulai perubahan yang diharapakan, sepak bola Indonesia sudah kembali mencoreng dirinya sendiri. Kisruh suporter hingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, kembali menghiasi catatan hitam persepakbolaan Indonesia. Kejadian miris itu kembali terjadi di saat sepak bola Indonesia baru saja terlahir kembali.

Pada 15 Mei 2016, seorang suporter Persija Jakarta bernama Muhammad Fahreza meninggal dunia. Kepergiaan pemuda berusia 16 tahun itu, diduga akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak keamanan pada laga Torabika Soccer Championship 2016, saat Macan Kemayoran menjamu Persela Lamongan (13/5) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Fahreza yang mendapatkan luka serius akibat kejadian tersebut, sempat dilarikan ke Rumah Sakit Andika, kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Zahira, hingga akhirnya menjalani perawatan intensif selama dua hari di Rumah Sakit Marinir Cilandak, Jakarta Selatan. Namun takdir berkehendak lain, nyawa The Jakmania itu tidak bisa diselematkan.

Hilangnya nyawa suporter sepak bola di Indonesia, seolah menjadi hal yang murah. Satu pekan setelah kejadian di SUGBK, seorang suporter PSS Sleman juga harus meregang nyawanya. Seperti yang dituliskan oleh Harian Jogja, bentrok suporter bola terjadi di Jalan Magelang kilometer 14, Triharjo, Sleman, pada
Minggu (22/5) dinihari WIB.

Bentrokan antara suporter PSS dengan kelompok suporter lain yang baru saja mendukung timnya bertanding di Semarang tersebut, mengakibatkan meninggalnya Stanislaus Gandhang Deswara. Remaja berusia 16 tahun itu meninggal dunia, lantaran luka serius akibat benda tajam di bagian kepala dan tubuhnya. Selain itu, ada enam korban lagi yang harus dirawat di RSUD Sleman.

Di saat sepak bola Sleman dan Indonesia masih diselimuti duka, kejadian memalukan kembali terjadi dalam sebuah pertandingan TSC 2016. Pertandingan antara Persegres Gresik United dengan PS TNI di Stadion Tri Dharma Gresik (22/5), harus terhenti di saat laga baru memasuki menit ke-3. Terhentinya pertandingan yang disiarkan langsung oleh televisi nasional ini, setelah terjadi keributan antar suporter Persegres dengan suporter PS TNI.

Dalam tayangan televisi terlihat jelas, bagaimana suporter Persegres yang dikenal dengan nama Ultras itu berhamburan di atas tribun setelah diserbu oleh suporter PS TNI. Bahkan, salah seorang suporter Ultras beratribut warna kuning harus berlari ke tengah lapangan untuk menyelamatkan diri, lantaran menjadi bulan-bulanan suporter berwarna hijau berambut cepak dengan sebuah tulisan kesatuan di bajunya.

Adanya kejadian seperti ini, pihak keamanan yang berada di stadion pun seolah tidak bisa berbuat apa- apa. Hal ini tentu sangat berbeda dengan tindakan aparat yang selama ini begitu represif kepada suporter sepak bola. Namun apa yang tersaji di Gresik lalu, tentu saja menjadi pertanyaan besar. Ke mana aparat yang selama ini bertindak represif kepada suporter bola Indonesia?

Dalam kejadian memalukan tersebut dan berbagai bukti foto yang tersebar, tentu saja PS TNI yang menjadi pihak yang paling disudutkan. Melalui sejumlah media sosial, publik dan pecinta sepak bola Tanah Air pun tidak segan memberikan kritikan dan hujatan kepada suporter klub yang telah mengakusisi Persiram Raja Ampat itu. Kejadian di Gresik tersebut, mungkin menjadi kali pertama di Indonesia, di mana suporter tuan rumah malah berhamburan ketakutan akibat tindakan arogan yang dilakukan oleh suporter tamu.



Dari beberapa kejadian buruk di atas, Menpora Imam Nahrawi pun sudah memberikan ancaman untuk menghentikan kompetisi independen bertajuk Indonesia Soccer Championship A dan B ini, seperti yang dilakukan Menpora pada kompetisi di tahun 2015 lalu. Penulis sendiri sangat setuju dengan apa yang disampaikan sang menteri. Buat apa ada sebuah kompetisi sepak bola, bila nyawa manusia seolah menjadi taruhannya.

Bentrokan demi bentrokan hingga hilangnya nyawa seseorang, tentu tidak sejalan dengan apa yang selalu disuarakan mereka sebagai suporter dan pecinta sepak bola Tanah Air. Mereka selalu menggebu-gebu dalam menyuarakan revolusi federasi demi terciptanya pretasi dalam persepekbolaan negeri ini.

Namun nyatanya, mereka sendiri belum bisa merubah dan menghapus dongeng rivalitas yang selalu berujung dengan tradisi bodoh bertajuk tawuran antar suporter. Apalah arti revolusi federasi, apabila suporternya masih hobi betindak anarki.
“Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan Tanah Airku, Marilah kita berseru, Indonesia bersatu,” kalimat yang menjadi bagian lirik dari lagu Indonesia Raya ini, selalu kalian kumandangkan dengan semangat nasionalime yang luar biasa ketika mendukung sebelas patriot dengan logo garuda di dada. Namun ketika kalian berbeda atribut dalam suatu kompetisi nasional, rasa kedaerahan seolah membutakan diri bahwa yang kalian musuhi itu adalah saudaramu sendiri yang masih sebangsa dan setanah air.

Wahai suporter sepak bola Indonesia, mau sampai kapan sepak bola Kita terjerembab dalam stigma “tanpa sebuah prestasi, hanya kekerasan yang tersaji”. Lupakan mimpi kalian untuk melihat sepak bola Indonesia ini bisa menggapai prestasi tertinggi, selagi kalian masih bangga dengan berbagai kerusuhan yang terjadi. Ingat, masalah dalam sepak bola Kita ini bukan hanya soal federasi yang harus direvolusi, tapi kalian para suporter juga harus bisa berbenah diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AREMAMU SEKARANG, BUKANLAH AREMAKU DULU. ENARUPES NAWAK

STADION GAJAYANA TAK PERNAH AJARKAN DUALISME

MERAYAKAN SEPAK BOLA TAK HARUS DENGAN FLARE