MERAYAKAN SEPAK BOLA TAK HARUS DENGAN FLARE
Arema baru melakoni dua laga dalam kompetisi Torabika Soccer Championship 2016, tapi sudah menorehkan catatan merah bagi operator kompetisi, PT Gelora Trisula Semesta. Dalam sidang Komisi Disiplin PT GTS, 5 Mei 2016 lalu, klub berjuluk Singo Edan ini dijatuhi denda sebesar sepuluh juta rupiah, lantaran dianggap melakukan pelanggaran dalam beberapa pasal.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Manajemen Arema, berdasarkan tindakan suporter setianya, Aremania yang menyalakan flare pada laga perdana TSC 2016, kala menjamu Persiba Balikpapan di Stadion Kanjuruhan (1/5).
Aremania yang tiga kali dinobatkan sebagai suporter terbaik di Indonesia, dinilai telah melakukan pelanggaran oleh Komdis PT GTS, sesuai dengan Pasal 60 dan Pasal 62 Kode Disiplin ISC. Dengan demikian, maka kesalahan Aremania pun harus ditanggung oleh Manajemen Arema.
Atas dasar demikian, maka Manajemen dan Panitia Pelaksana pertandingan Arema, menegaskan akan memerangi flare dalam laga-laga kandang Arema selanjutnya. Manajemen dan Panpel Arema tidak ingin lagi menanggung dosa suporter setianya tersebut, termasuk saat menjamu Bhayangkara Surabaya United, pada Minggu (15/5) nanti.
Dalam beberapa musim terakhir, Aremania memang makin akrab dengan meyalakan flare dalam memberikan dukungan langsung terhadap klub yang didirikan pada 11 Agustus 1987 ini. Baik laga kandang maupun tandang, Aremania kerap meyalakan benda yang juga disebut dengan cerawat atau suar tersebut.
Flare sendiri seolah menjadi bagian dari suporter sepak bola di era modern saat ini. Para fans garis keras di kiblatnya sepak bola, yaitu Eropa, kerap kali menyalakan flare di dalam stadion. Mereka yang menyebut dirinya sebagai Ultras ataupun Hooligan, dengan gagah menyalakan flare dalam genggaman tangannya.
Namun patut dicermati, suporter bola di Eropa menyalakan flare tidak sekedar sebagai pemanis dalam koreografi yang mereka ciptakan. Flare bersama smoke bomb juga disimbolkan sebagai bentuk perlawanan mereka yang mengaku sebagai pemain ke-12 bagi kesebelasan yang dicintainya.
Di era sepak bola industri saat ini, para Ultras dan Hooligan kerap kali menyalakan flare sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan-kebijakan klub mereka. Seperti halnya aksi protes atas harga tiket pertandingan yang semakin mahal, penghapusan sejarah, dan lain sebagainya yang dinilia mereka sangatlah tidak bagus untuk perkembangan klub ke depannya.
Contoh lain, pada 16 November 2014, ketika Tim Nasional Kroasia melawan tuan rumah Italia pada kualifikasi Euro 2016. Bertandang ke Stadion San Siro yang berada di Kota Milan, suporter Kroasia tak segan meyalakan puluhan flare. Tidak hanya itu, mereka juga melemparkan flare ke dalam lapangan dalam jumlah yang masif, sehingga membuat wasit harus menghentikan pertandingan selama 15 menit.
Akis suporter Kroasia pun berlanjut dengan memasang spanduk bertuliskan huruf "U", yang merupakan lambang Ustase, sebuah gerakan ekstremis nasionalis Kroasia yang berkembang pada masa sebelum dan selama Perang Dunia II. Bila menilik aksi dari suporter Kroasia di atas, tentu flare bukan lagi sebagai penamis dalam aksi yang dilakukan suporter sepak bola pada umumnya.
Federasi sepak bola dunia, FIFA, juga telah mengharamkan benda tersebut dalam sebuah pertandingan resmi di bawah koridornya. Dalam Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan, Penyelenggaraan Pertandingan FIFA, pasal 7 tentang Layanan Darurat, butir C point (i) yang menyatakan, petugas keselamatan dan keamanan stadion harus mempunyai kebijakan yang jelas untuk melarang penonton membawa flare, kembang api, atau bentuk penyalaan api lainnya ke dalam stadion.
Apa yang dituliskan FIFA tersebut sudah jelas, bahwa flare haram dalam sepak bola sekalipun banyak pihak yang menganggap Flare is not crime, #NoFlareNoParty. Dengan demikian, apakah Aremania masih akan tetap menyalakan flare sebagai bagian dari kreativitas ?. Sebagai suporter yang militan, tentu Aremania tidak akan rela melihat tim kebanggannya terus menerus mendapatkan hukuman dari operator kompetisi.
Dalam artikel ini, penulis pun tidak ingin menyudutkan Aremania terkait soal flare. Namun kreativitas Aremania, tidaklah dinilai dari seberapa banyak flare yang dinyalakan di atas tribun. Nyanyian Aremania yang tidak mengandung rasisme dan SARA dengan diiringi tabuhan snare dan bass drum sepanjang pertandingan, jauh lebih berharga dalam membakar semangat sebelas laki-laki berseragam Arema yang berjibaku di atas rumput hijau.
Mantan dirijen Aremania, yaitu Yoseph ‘El Kepet’, pun pernah bercertita dalam sebuah video behind the scene Arema Voice-Salam Satu Jiwa (2006). Pria yang menjadi konduktor di tribun B Stadion Gajayana itu menyatakan, “Aremania besar dari kebersamaan, awal menuju sukses menjadi suporter terbesar dan terbaik di Indonesia. Tapi perlu diingat, perjalanan dulu dari kampung ke kampung untuk koordinasi bagaimana membuat lagu (chant), bagaimana menciptakan gerak (koreografi), menciptakan kreativitas, itulah bentuk dari kebersamaan Aremania”.
“Dan buat penerus Aremania yang muda-muda saat ini, umak-umak yang harusnya meneruskan dari kebesaran Aremania. Jangan berhenti untuk berkreativitas, karena kita besar dari kreativitas,” sambung El Kepet dalam video Arema Voice.
Jadi, apakah Aremania masih berminat membarakan flare di kandang Singo Edan. Haruskah flare menjadi bagian dari kreativitas Aremania ?. Menikmati dan merayakan sepak bola memanglah tidak cukup dalam durasi waktu 90 menit saja. Bukankah dalam kehidupan kita sehari-hari, kita juga selalu merayakan sepak bola, seperti saat bersama beberapa teman di sebuah kedai kopi mendiskusikan Arema mulai dari A sampai Z.
*Pernah dipublish oleh ongisnade.co.id pada Mei 2016
Komentar
Posting Komentar