STADION GAJAYANA TAK PERNAH AJARKAN DUALISME
Stadion Gajayana Malang, begitulah nama suatu tempat yang berdiri cukup megah di salah satu sudut Kota Malang. Stadion yang konon merupakan salah satu bangunan olahraga tertua di Indonesia. Gajayana menjadi bagian sejarah panjang dari klub sepak bola bernama Arema Malang.
Dari tempat tersebut, saya belajar mengenai apa itu sepak bola, dan apa itu Arema Malang. Kala itu usia saya masih 10 tahun. Namun dari Gajayana, saya belajar banyak hal, apa itu fanatisme, luapan emosi, kebanggaan, kemenangan, hingga kesedihan akan kekalahan. Berbagai macam hal yang mungkin tidak pernah saya dapatkan semasa duduk di bangku sekolah dasar pada masa kecil dulu.
Belajar di stadion Gajayana cukup murah kala itu. Saya hanya berbekal uang dua ribu rupiah untuk sekedar mengisi perut. Seragam terganti oleh atribut berwarna serba biru dan kaki cukup beralaskan sandal jepit. Ya, cukup hanya dengan itu. Saya menumpang bapak-bapak tua agar dapat masuk ke dalam stadion, agar dapat mempelajari segalanya. Kebanyakan anak seusia saya kala itu tahun 1999, dirasa terlalu berat bila harus membeli sebuah tiket pertandingan seharga lima belas ribu rupiah. Suporter yang tidak bermodal, itulah saya di masa itu.
Seiring berjalannya roda kehidupan, segala tentang Arema dan sepak bola Indonesia seolah berkembang dan berubah. Ada perkembangan yang mengarah ke arah yang lebih baik dan modern. Namun tidak sedikit yang berubah menjadi hal yang sangat berbeda, dari apa yang dulu saya pelajari di masa kecil tentang Arema dan sepak bola Indonesia.
Stadion Gajayana tidak pernah mengajarkan saya tentang apa itu polemik, perpecahan, dualisme, hingga soal legalitas klub sepak bola. Hal-hal tersebut tidak pernah saya dapatkan dan pelajari ketika saya duduk dan berteriak di tribun-tribun Gajayana.
Namun saat ini, justru hal-hal yang tidak saya dapatkan dari Gajayana, menjadi bola panas bagi klub kebanggan Arek Malang ini. Perpecahan, dualisme, dan legalitas, menjadi bahan saya sebagai penulis berita. Dan juga bagi Anda-Anda semua, para pembaca. Hampir berbulan-bulan saya mengulas dan menulis tentang dualisme dan legalitas ini, yang akhirnya membuat saya muak dan malas. Lantas, bagaimana dengan Anda-Anda para pembaca, apakah masih terkesima dengan tema dualisme dan legalitas?
Apa sebenarnya dualisme, apa yang dimaksud dengan legalitas. Entahlah. Saya sendiri tidak tau kebenaran yang sebenarnya, mana yang memanipulasi dan mana yang benar. Dualisme dan legalitas, membuat mereka-mereka menjadi dua kutub magnet yang enggan untuk menyatu. Aremania juga demikian, membelah diri membela apa yang mereka yakini. Semua berpendapat dan berlagak menjadi yang paling tahu dan mengerti soal Arema. Bila tidak sependapat, bersebrangan keyakinan, maka akan tercipta jurang pemisah diantara keduanya. Menarik memang, namun semua itu bukan pelajaran yang dulu saya dapatkan dari Gajayana soal Arema dan Aremania.
Salam satu jiwa, kini seolah hanya menjadi sebuah kiasan dan slogan bagi mereka yang menyebut dirinya Aremania. Arema sendiri menjelma menjadi mahluk yang terkurung oleh aturan-aturan dari sang menteri dengan pion bernama BOPI. Sekali lagi, entahlah. Dalam setiap sengketa, mereka selalu akan mejawab dengan kalimat yang tekstual,
"ini semua demi kebaikan dan kemajuan sepak bola Indonesia", kita semua begitu hafal dan familiar dengan kalimat tersebut. Kata-kata yang selalu terucap oleh mereka-mereka yang merasa paling berjasa atas sepak bola di negeri ini.
Mengikuti dan menelusuri dari hari ke hari, kekacauan yang terus-menerus melanda seolah ingin bersikap tak peduli. Saya bosan dengan sepak bola negeri ini. Saya bosan dengan konflik yang terus menerus menerpa Arema. Namun apa yang dikatakan oleh seorang teman, seolah selalu terngiang pada telinga.
“Kita boleh saja mengidolakan klub-klub top dunia. Tapi satu hal yang harus diingat, bahwa yang terasa dalam nadir kita sehari-hari hanya Arema. Kebanggaan akan klub lokal, yang ada di tempat dimana kita tinggal dan dilahirkan”.
Dan kini, membuat saya rindu akan pelajaran yang saya dapatkan dulu. Rindu akan Gajayana, karena dari sanalah kita semua bermula.
*Pernah diposting di ongisnade.co.id pada April 2015
*Pernah diposting di ongisnade.co.id pada April 2015
Komentar
Posting Komentar